Rabu, 28 Oktober 2009

suara alam

Di antara keheningan, badan dan fikiran dibangunkan oleh suara adzan subuh. Sesegera mungkin mengamabil air untuk berwudlu dan menghadap kepada-Nya. Di subuh itu Allah telah menunjukkan keagungan-Nya. Udara yang segar, dingin diiringi suara kicauan burung, yang sebelumnya tidak terdengar. Alhamdulillah, jadikanlah kami insan yang beruntung, agar bisa menikmati segala karunia-Mu. Akankah semua ini terjaga hingga akhir hayat? Bagaimana jika alam yang indah ini digantikan oleh alam buatan manusia sepenuhnya? akankah tetap terjaga keindahannya? Bagaimana jika pohon-pohon yang tersisa telah tergantikan oleh bangunan gedung? sesombong itukah manusia sehingga berusaha menggantikan kekuasaan Allah dalam mengatur dunia?

Kamis, 13 Agustus 2009

sekelumit cerita lama

sewaktu iseng mencari data tentang lingkungan dan lasekap saya menemukan situs beralamat di indobic.biotrop.org, memuat tentang berita yang disadur dari harian Kompas edisi 06/12/2006 yang sangat menarik, karena bercerita tentang perjuangan seorang umat manusia dalam menyelamatkan lingkungannya.
Adapun cuplikan tersebut dapat disimak di bawah ini:

HERI DAN KONSERVASI SITU DI DEPOK

Awalnya, Heri Syaefudin (38) penasaran melihat areal sempadan situ atau danau di seputar Kota Depok, Jawa Barat, dibiarkan menganggur dan ditumbuhi semak belukar. Mengapa sempadan situ tidak dimanfaatkan menjadi kawasan agrowisata berbasis tanaman hias yang dapat menghasilkan uang?

Heri memulainya dari Situ Pengasinan di Kecamatan Sawangan. Dia melihat Situ Pengasinan nyaris lenyap karena berubah menjadi empang dan sawah, bahkan nyaris diuruk menjadi perumahan oleh pengembang.

Perusakan lingkungan di Situ Pengasinan dapat dihindari ketika pada tahun 2003 Wali Kota Depok (waktu itu) Badrul Kamal meminta petugas Dinas Pekerjaan Umum mengeruk danau seluas 6,5 hektar itu sehingga Situ Pengasinan kembali pada fungsinya. Di sekitar situ, dalam jarak 50 meter, harus menjadi ruang terbuka hijau dan tidak diperbolehkan ada bangunan permanen.

Tahun 2004, Heri membeli tanah seluas 3.000 meter persegi di tepi Situ Pengasinan. Saat itu di sempadan situ dipenuhi semak belukar. Dengan tekad yang kuat, Heri mengubah dan menatanya menjadi tempat yang sedap dipandang. Arealnya tetap menjadi bagian dari lanskap danau. Di sana ada kolam ikan, penuh tanaman hias, dan rerumputan hijau. Heri merangkul warga Kelurahan Pengasinan yang sebelumnya bertani untuk memanfaatkan danau yang saat itu telanjur jadi sawah dan empang. Setelah danau dikembalikan pada fungsinya, Heri mengajak warga menjadi petani tanaman hias.

Tentu saja, tidak dengan seketika warga memenuhi ajakannya. Mereka ragu-ragu dan ingin melihat-lihat dulu. Namun, Heri tidak putus asa dan terus bekerja.

Setelah warga melihat apa yang dilakukan Heri terbukti ada hasilnya, warga Pengasinan dan warga kelurahan lain di Sawangan ramai-ramai mengikuti ajakannya untuk bertanam tanaman hias.

Sampai akhir tahun 2006 ini, ada sekitar 500 orang menjadi petani tanaman hias dan 100 lainnya menjadi pedagang yang memiliki kios di sepanjang Jalan Raya Bojongsari (Sawangan)-Ciputat. Mereka tergabung dalam tujuh kelompok tani dan koperasi.

Heri, anak petani yang lahir pada 22 Juli 1968, mengenyam pendidikan di SMP Grabag, Magelang, Jawa Tengah, dan SMAN I Temanggung. Heri hijrah ke Jakarta tahun 1988, menyelesaikan pendidikan di Akademi Lanskap Jakarta dengan tugas akhir tentang konsep penataan sempadan situ pada tahun 1992. Setelah bekerja sebagai pekerja lanskap di berbagai tempat, Heri pindah ke Sawangan, Depok, tahun 2002.

Menurut Heri, pada saat itu perdagangan tanaman hias sudah ada di Sawangan, tetapi jenisnya tidak bervariasi. Hanya palem dan rumput. Petaninya pun tak bertambah.

Kini, Heri merasa bangga karena cita-citanya memberdayakan masyarakat Sawangan ada hasilnya. Sekarang, penghasilan seorang petani tanaman hias rata-rata Rp 3 juta sampai Rp 15 juta per bulan. "Setidaknya anak-anak muda yang dulu kerjanya cuma nongkrong kini mempunyai pekerjaan dan penghasilan," ungkap Heri.

Bu’an (41), warga Pengasinan, misalnya, mengaku awalnya ragu mengikuti ajakan Heri. Namun, setelah usaha peternakan lele dan ayamnya bangkrut, ia beralih menjadi petani tanaman hias. Dari usahanya itu, kini dia mampu menguliahkan anaknya di Bogor. "Tetangga saya pedagang bubur, mengerjakan usaha tanaman hias ini secara sambilan dan mendapat penghasilan lumayan," tuturnya.

Dilirik perbankan

Yang juga membanggakan Heri, konsepnya membangun Sawangan menjadi kawasan agropolitan berbasis tanaman hias didukung kalangan perbankan. Melalui program Perbankan Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) Bank Mandiri, setiap petani bisa mendapat kredit bank dengan bunga 6-8 persen per tahun.

Usaha Heri memberdayakan warga Pengasinan ini mendapat perhatian tim Program Pendanaan Kompetensi Indeks Pembangunan Manusia ((PPK IPM) Jawa Barat. Daerah ini akan dibangun dengan dana PPK IPM sebagai daerah pertanian tanaman hias. Setidak-tidaknya jalan tanah menuju lokasi Situ Pengasinan diharapkan dapat segera diaspal.

Heri pun melihat usahanya tidak sia-sia karena Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma’il peduli terhadap upaya pelestarian lingkungan, sekaligus upaya memberdayakan masyarakat sekitar itu. "Kalau Situ Pengasinan berhasil menjadi kawasan agrowisata berbasis tanaman hias, danau ini bisa menjadi proyek percontohan bagi 30-an danau lainnya yang ada di seputar Kota Depok," ujarnya.

Suami dari Santi Widya (32) dan ayah dari dua anak itu berpendapat, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membantu program penyelamatan lingkungan di daerah pinggirannya itu. Kalau DKI membantu menyelamatkan situ-situ di Kota Depok, Jakarta akan terhindar dari kekeringan di musim kemarau dan tidak kebanjiran di musim hujan.

semoga tulisan ini bisa menggugah hati nurani kita untuk bergerak menyelamatkan bumi.

Jumat, 29 Mei 2009

paru-paru kecil di jalan

Ketika kita berangkat ke tempat kerja dan sekolah hampir menggunakan waktu yang hampir sama. Fenomena yang pasti terjadi adalah meningkatnya kepadatan lalu lintas jalan raya menuju wilayah yang memiliki tempat kerja dan sekolah dalam jumlah banyak. Kepadatan lalu lintas jalan raya didominasi oleh kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor. Udara pagi yang seharusnya segar berubah menyesakkan dan gerah. Polusi udara yang tinggi terjadi disekitar jalan raya dengan tingkat kepadatan tinggi. Beberapa pemerintah berusaha mensiasati dengan berbagai cara, antara lain program three in one, memanjukan jam sekolah yang diharapkan mampu memecah tingkat kebutuhan jalan raya, melebarkan jalan kendaraan, menghentikan kendaraan-kendaraan niaga yang dapat ditunda keberangkatannya. Beragam usaha itu sepertinya tidak mampu mengimbangi tingkat kepadatan lalu lintas yang terus bertambah.
Area hijau diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengimbangi tingkat polusi yang ada. Sementara itu area hijau di sekitar jalan semakin menipis bahkan menghilang. Taman-taman dan hutan kota yang diharapkan mampu menjadi paru-paru kota berubah fungsi menjadi bangunan-bangunan gedung maupun non-gedung. Beberapa taman kota dikorbankan untuk menjadi jalan raya tanpa tergantikan. Padahal, manusia hingga saat ini tidak mampu bertahan hidup tanpa adanya oksigen, dan tanaman merupakan salah satu jenis makhluk yang menjadi produsen oksigen di siang hari, sedangkan polusi akan meningkat tinggi pada waktu-waktu aktifitas penduduk tinggi pula, yakni pagi hingga sore hari.
Jika kita sempatkan untuk memperhatikan di sekitar jalan, maka kita akan menemukan sudut-sudut “ruang sisa” yang tidak terkelola dengan baik. Seandainya kita berusaha berpikir “komersil” dalam memanfaatkan setiap jengkal tanah di negeri kita, maka kita akan mendapatkan “keuntungan” yang besar. Komersil di sini yang dimaksud adalah agar setiap jengkal tanah tersebut menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk khalayak secara maksimal dan menekan tingkat kerugian bagi kehidupan manusia. Udara bersih hingga saat ini menjadi “komoditi” yang mahal, kenapa kita tidak berusaha untuk “menjual” kepada manusia? Menjual udara segar dengan bayaran mengurangi kearoganan dan meminta kepedulian manusia itu sendiri.
Terbayang dalam “halusinasi”, seandainya bidang-bidang tanah yang luasnya 10 cm x 10 cm itu ditumbuhi tanaman, maka akan ada sesuatu yang dibutuhkan manusia dihasilkan olehnya tanaman tersebut. Berapa banyak bidang tanah “ruang sisa” tersebut yang ada di kota? Bisa kita akumulasi dan menjadi sebuah taman kota yang cukup luas dan tersebar di penjuru kota menjadi “paru-paru kecil” bagi kota tersebut. Jika kita cermati lagi, maka kita akan temukan “ruang sisa” di sekitar traffic light merupakan lokasi yang sangat strategis terhadap sumber polusi kendaraan bermotor. Sekali lagi terbayang seandainya kita berusaha berpikir “komersil” dalam memanfaatkan setiap jengkal tanah di sekitar kita.

Rabu, 27 Mei 2009

rumah bertetangga

hidup bertetangga, harus saling toleransi dengan tetangga yang ada di sekitarnya. Toleransi diciptakan sejak dari proses membangun sebuah rumah tinggal, bagaimana meletakkan material yang akan dipergunakan. Selain  peletakan material yang sering mengganggu, perancangan sebuah bangunan rumah juga harus dipersiapkan dengan bijaksana.  aspek perancangan yang dimaksud adalah cara menghasilkan sebuah rancangan yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Arsitek tidak hanya dibebani hasil desain rumah tersebut, akan tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat. Kecemburuan sosial yang ada hanya akan menjadikan masalah berkepanjangan. Banyak hal terjadi ketika didirikan sebuah rumah mewah diantara rumah-rumah sederhana, dari masalah sosial sehari-hari dengan tetangga hingga masalah kriminal. Ini hanyalah selingan untuk direnungkan dalam kehidupan kita ber-arsitek. Ingat arsitek dalam konteks ini bukanlah hanya disandang oleh seseorang yang pernah menempuh pendidikan formal teknik arsitektur, akan tetapi juga semua pihak yang merencanakan dan merancang rumah tersebut.

Senin, 04 Mei 2009

perilaku manusia terhadap besaran rumah

Ini adalah selingan pengalaman pribadi penulis. Setelah membaca sebagian dari bukunya Adi Purnomo yang berjudul Relativitas, ternyata ada sedikit kesamaan pemikiran ketika menemui rumah tinggal yang sangat besar di lingkungan sekitar kita. Adi Purnomo berusaha memperhitungkan perbandingan kebutuhan ruang minimal secara perorangan ditambahkan kebutuhan ruang selaku makhluk sosial dengan luasan ruangan yang dihasilkan yang alhasil masih dirasa terlalu berlebihan. Berdasarkan kasus yang sama, namun pemikiran yang muncul dalam diri saya adalah berkaitan dengan perilaku manusia selaku satu kesatuan keluarga. Berdasarkan pengalaman pribadi serta hasil pengamatan yang saya lakukan, dapat saya simpulkan bahwa tingkat kebutuhan ruang seseorang sebenarnya masih dapat dikesampingkan setelah jiwa sosialnya dalam suatu keluarga utuh. Seorang ibu adalah sosok insan yang memiliki kekuatan terbesar dalam suatu keluarga utuh. Perlu dicermati ungkapan ini tentang keluarga utuh yang dimaksud adalah adanya ayah, ibu, dan anak. Peristiwa ini terjadi biasanya lebih kuat ketika sang anak-anak sudah tinggal di tempat lain, yang berlibur atau mengunjungi rumah tinggal orang tuanya. Di mana sang ibu berada kebanyakan anak-anaknya ketika tidak ada “perkerjaan wajib” di waktu senggangnya, maka anak-anak tersebut akan selalu mengikuti sang ibu, ketika ibu sedang memasak, anak-anak akan mengikutinya kumpul di dalam dapur, ketika ibu sedang berkebun, anak-anak akan mengikutinya kumpul di kebun, ibu sedang makan bersama sang ayah, anak-anak akan mengikutinya kumpul di ruang makan, meskipun sudah atau sedang tidak makan. Dari peristiwa-peristiwa yang saya alami maupun amati tersebut muncul pertanyaan dalam benak saya, untuk apa kita membangun sebuah rumah tinggal yang sangat besar jika kita hanya butuh kamar, kamar mandi dan wc saja untuk kegiatan pribadi, sedangkan yang lain dapat diwakili oleh satu ruang multi fungsi tanpa harus menjadikannya bersekat-sekat. Mungkin jika kita menyadari benar tingkat kebutuhan kita akan ruang secara optimal, maka kita tidak akan menghabiskan lahan yang tersedia untuk rumah tinggal kita tanpa menyisakan untuk lingungan hidup disekitar kita.

Jumat, 10 April 2009

Kaitan Pemahaman Bangunan dengan Pelanggaran KDB

Apakah bangunan itu sebenarnya?Bangunan itu sendiri terdiri dari bangunan gedung dan non-gedung. Banyak pendapat yang berbeda terhadap pengertian bangunan. Hal ini terjadi karena masing-masing pendapat itu didasari oleh kacamata yang berbeda. Jika kacamata yang dipergunakan adalah peraturan pemerintah dan pedoman teknis, maka bangunan lebih dikatagorikan dengan bangunan rumah dinas dan bangunan gedung (non-rumah). Jika didasarkan pada peraturan pemerintah dan pedoman teknis, maka yang tidak termasuk kedua katagori tersebut dianggap bukan bangunan. Sedangkan menurut pengertian secara utuh dari bahasa teorinya, bangunan dikatagorikan sebagai bangunan gedung dan non-gedung. Bangunan gedung adalah bangunan yang mewadahi aktifitas, dan merupakan hunian baik sementara maupun tetap, sedangkan bangunan non-gedung merupakan bangunan yang bukan merupakan hunian baik sementara maupun tetap, seperti bangunan jalan dan bangunan air. Hal inilah yang menjadi celah untuk dilakukan pelanggaran terhadap perda yang ada di masing-masing daerah. Pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran terhadap peraturan KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Ketika dalam dalam perda dinyatakan harus 60%, maka yang dibatasi 60% tersebut adalah bangunan yang berdiri berwujud bangunan hunian baik yang sementara maupun tetap, sehingga bangunan-bangunan lain yang dibuat di site-nya (perkerasan, dan street furniture) dinggap tidak melanggar. Banyak bangunan yang berdiri 100% di atas sitenya, sedangkan perda telah menyatakan daerah tersebut memiliki KDB 40%, 60% atau 80%, bahkan pelanggaran ini banyak juga di langgar oleh bangunan kantor instansi pemerintah.

Selasa, 07 April 2009

building coverage

tahukah anda?apakah building coverage (BC) itu?kita ada yang mengenalnya dengan istilah KDB alias Koefisien Dasar Bangunan. BC bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan pembangunan fisik di atas muka bumi, sehingga bangunan tersebut tidak semaunya meng-cover permukaan bumi. Ada banyak hal yang diakibatkan oleh penutupan permukaan bumi oleh bangunan yang menyebabkan di masukannya BC dalam perda di wilayah masing-masing. Salah satu manfaatnya yaitu dalam mempertahankan daya serap tanah terhadap air, terutama pada daerah peresapan. Namun hal ini banyak kurang dimengerti oleh masyarakat luas serta aparatur negara. Tingkat komersialitas lahan yang semakin tinggi menjadikan terabaikannya perda/ aturan itu sendiri, bahkan oleh pihak yang seharusnya menegakkan aturan tersebut. Beberapa waktu lalu kita "dikejutkan" oleh tragedi Situ Gintung, yang sebenarnya sama sekali tidak mengejutkan jika kita sadar ketika mendirikan bangunan-bangunan tersebut. siapa yang harus bertanggung jawab? semua penegak peraturan (pemerintah baik daerah sebagai pelaksana dan pemberi ijin maupun pusat sebagai kontrol) juga masyarakat yang tidak mau tahu keadaan dari lingkungan tersebut.